Senin, 10 Oktober 2011

Panggilan

Di trotoar jalan, Ani jongkok dan menangis. Dilihatnya uang di tangannya, hanya ada dua keping koin lima ratus, dan sekeping koin seratus. Di lihatnya jalan raya, sepi. Dia lihat sekeliling, sepi. Tidak ada satu orang pun disana. Hanya ada Ani yang diterangi lampu jalanan.  Ani mulai berdiri, dan dengan perasaan takut, ia pulang.

***

Berjalan dengan lunglai dan gontai. Ani ngeri melihat kedepan. Ia takut, jikalau ia melihat rumahnya. Dalam pikirannya, ia hendak kabur. Namun, kabur kemana? Hari sudah gelap. Sudah lewat tengah malam. Yang tersisa dijalanan hanyalah preman dan pembalap liar.

***

Ani melewati sebuah rumah. Dia mendengar suara dari rumah tersebut. Memanggil dia.

"Nak, nak. Kemari, Nak."

Ani tersentak. Dia terdiam sejenak. Jantungnya berdebar tak karuan. Suara itu, sangat mengerikan.

"Nak. Iya, kamu yang disana. Kemari, Nak."

Ani menoleh ke sebelah kirinya. Dia melihat sebuah rumah tua. Tak terurus, dipenuhi tumbuhan menjalar, dan halamannya sudah menjadi semak. Dengan ragu-ragu, dia mulai melangkah ke rumah tersebut. Ia membuka gerbang rumah itu.

"Iya, Nak. Kemari. Ayo. Nanti ibu kasih permen."

Dengan hati-hati, ani melintasi semak-semak tersebut. Setelah sampai di teras depan rumah tersebut, tiba-tiba saja, pintu rumah terbuka dengan sendirinya. Ketika Ani membuka pintu tersebut, tiba-tiba saja, sebuah kepala terjatuh dari atas.

Jantung Ani semakin berdegup tak karuan. Dia ingin berteriak, namun, tak kuasa. Ia ingin lari, namun, seperti ada yang menahan. Kepalanya hanya tertuju dengan kepala penuh darah tanpa bola mata yang tadi terjatuh. Tak kuasa melihatnya, ia menoleh ke kanan. Ia melihat, seorang nenek dengan mulut penuh darah dan gigi bertaring dan mata yang memutih dan badannya hanya usus saja. Nenek itu melayang. Tak kuasa melihat semuanya, Ani pun tak sadarkan diri.

Semenjak kejadian itu, tidak ada Ani diantara kelompok pengamen di lampu merah itu. Batang hidung Ani tidak diketahui keberadaannya. Bahkan di rumahnya sekalipun.