Di trotoar jalan, Ani jongkok dan menangis. Dilihatnya uang di
tangannya, hanya ada dua keping koin lima ratus, dan sekeping koin
seratus. Di lihatnya jalan raya, sepi. Dia lihat sekeliling, sepi. Tidak
ada satu orang pun disana. Hanya ada Ani yang diterangi lampu jalanan.
Ani mulai berdiri, dan dengan perasaan takut, ia pulang.
***
Berjalan
dengan lunglai dan gontai. Ani ngeri melihat kedepan. Ia takut, jikalau
ia melihat rumahnya. Dalam pikirannya, ia hendak kabur. Namun, kabur
kemana? Hari sudah gelap. Sudah lewat tengah malam. Yang tersisa
dijalanan hanyalah preman dan pembalap liar.
***
Ani melewati sebuah rumah. Dia mendengar suara dari rumah tersebut. Memanggil dia.
"Nak, nak. Kemari, Nak."
Ani tersentak. Dia terdiam sejenak. Jantungnya berdebar tak karuan. Suara itu, sangat mengerikan.
"Nak. Iya, kamu yang disana. Kemari, Nak."
Ani
menoleh ke sebelah kirinya. Dia melihat sebuah rumah tua. Tak terurus,
dipenuhi tumbuhan menjalar, dan halamannya sudah menjadi semak. Dengan
ragu-ragu, dia mulai melangkah ke rumah tersebut. Ia membuka gerbang
rumah itu.
"Iya, Nak. Kemari. Ayo. Nanti ibu kasih permen."
Dengan
hati-hati, ani melintasi semak-semak tersebut. Setelah sampai di teras
depan rumah tersebut, tiba-tiba saja, pintu rumah terbuka dengan
sendirinya. Ketika Ani membuka pintu tersebut, tiba-tiba saja, sebuah
kepala terjatuh dari atas.
Jantung
Ani semakin berdegup tak karuan. Dia ingin berteriak, namun, tak kuasa.
Ia ingin lari, namun, seperti ada yang menahan. Kepalanya hanya tertuju
dengan kepala penuh darah tanpa bola mata yang tadi terjatuh. Tak kuasa
melihatnya, ia menoleh ke kanan. Ia melihat, seorang nenek dengan mulut
penuh darah dan gigi bertaring dan mata yang memutih dan badannya hanya
usus saja. Nenek itu melayang. Tak kuasa melihat semuanya, Ani pun tak
sadarkan diri.
Semenjak
kejadian itu, tidak ada Ani diantara kelompok pengamen di lampu merah
itu. Batang hidung Ani tidak diketahui keberadaannya. Bahkan di rumahnya
sekalipun.